Diam!

 

Diam!

Kapan kalian bisa diam?

Bersuara layak gendam, berteriak sama kejam.

Dalam diam,

Diri ini simpan dendam.


Tepekur.

Bayang melebur, membaur tak terukur.

Perkara amarah, jatuh tersungkur.

Sedang bahagia, lenyap terkubur.

Tatkala raga mulai hancur, semesta kerap tertidur.


Terpenjara belantara lara, mengharap doa pada dunia.

Berkali-kali aku cedera, mengapa masih tuli jua?


Dari luar kamar, bingar terdengar.

Bantingan, hempasan, gebrakan!

Tamparan, pukulan, hantaman!

Amukan, jeritan, teriakan!


Diam kalian!

Kubilang diam kalian!


Tetapi cakap hanya berharap, kehendak tak mampu bertindak-khayal terinjak.

Seketika lumpuh seluruh tubuh, sadarnya tertikam hingga lebam-angan terpendam.


Dalam sendu, aku menoleh sebisaku.

Pisau bergagang hitam itu, sudah mengarah kepadaku.

Tuk segera akhiri hidupku.

Tak akan butuh banyak waktu.

Mungkin dua atau satu?

Gores maksudku.


Lebih baik pergi, daripada dengar mereka bertengkar lagi.

Lebih baik hilang, daripada lihat mereka bernafsu perang.

Lebih baik sirna, daripada sepanjang hidup merana.


Dengan lengan bergetar dan bibir membiru-aku menangis.

Perlahan, mengiris bengis.

Meracau, berujar parau.

Mengaduh, berteman peluh.


Terengah.

Melangkah susah payah-bersimbah darah.


Percuma saja aku meragu- lalu jadi benalu.

Meragu itu hal tabu.


Selama ini aku tertipu, toh, aku sudah mati tahu-tahu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Susahnya Berkabar?

Pengkotak-kotakan Manusia

Apakah Alam Semesta ini Teratur?