Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2021

Telat Shalat atau Rapat?

 Yang Lebih Parah daripada Telat Rapat "Yes, akhirnya aku datang rapat nggak terlambat!" Celetuk seorang mahasiswa baru.  Mungkin terdengar biasa saja, sudah wajar kan kita bahagia? Kalau ada hal-hal luar biasa yang berhasil kita raih? Entah datang kumpul paling pertama, sukses besar mengadakan acara, sampai mendapat nilai ujian sempurna. Semuanya menyenangkan dan mencipta bahagia. Entah karena bangga, atau puas karena bisa memenuhi ekspektasi teman-temannya.  Yah, namanya juga manusia. Senang kalau bisa dihargai yang lainnya, atau saat dipuji karena apa yang dilakukannya. Mereka mengejar hal itu semua, supaya bisa diakui oleh sesamanya. Ah, rasanya tidak ada yang aneh disana. Namun, kenapa aku tidak temukan kebanggaan itu. Puji dan apresiasi itu tidak diperjuangkan, kalau sudah berurusan dengan Allah? Berapa banyak dari manusia, yang senang dan bangga ketika bisa shalat berjamaah tepat waktu bersama? Berapa banyak, yang ingin dipuji oleh Allah karena berhasil jatuh cinta...

Apa Susahnya Berkabar?

Pernah denger gak, kalo semakin dewasa dan semakin bertambah usia kita, lingkaran pertemanan yang bener-bener dikatakan "teman" itu semakin mengecil dan lama kelamaan jumlahnya semakin sedikit. Terutama bagi kamu yang mulai menginjak kepala 2 dan lulus dari dunia perkuliahan. Biasanya orang-orang yang menemani kseharianmu hanya itu-itu saja dan jumlahnya tak sebanyak dulu. Temen-temen deket SD, SMP, bahkan SMA dulu juga udah jarang terdengar kabarnya. Alasannya banyak. Bisa jadi karena diri kita sendiri yang mulai sibuk dengan kewajiban dan urusan pribadi, ada juga yang beralasan karena teman kita telah menemukan lingkarannya sendiri yang lebih sejalan dengannya, ada juga yang beralasan karena jarak telah memisahkan kita sehingga intensitas pertemuan hanya sekedar di dunia maya. Dan ada juga yang beralasan bahwa tidak semua agenda kegiatan yang kita lakukan setiap hari, itu selalu bersama orang-orang yang sama dalam yang jumlah banyak. Tapi terkadang kita pernah merasa sepi d...

Kita Butuh Takut Sebelum menjadi Berani

Kita boleh takut, sekali, dua kali, empat kali dalam sehidup.  Jika Ibu di rumah selalu marah kalau anaknya penakut, aku sejatinya akan ajarkan bahwa seluruh hal di dunia ini boleh untuk dicoba. Termasuk mencoba untuk takut.  Kukira, segala hal memang telah diciptakan untuk sebuah alasan. termasuk terciptanya rasa takut(?) Kita boleh jadi penakut, sebab dalam rasa takut ada harapan untuk menjadi tidak seperti itu; Jadi guru, haruslah punya rasa takut jika tak cukup bijak di depan muridnya. Jadi murid harus lah punya rasa takut jika nilainya jelek dan tinggal kelas.  Bayangkan jika guru tak punya rasa takut, ia akan selalu menggap dirinya paling benar karena tak ada ketakutan baginya. karena ia tak takut muridnya bisa dengan bijak mematahkan rongga kepala congkaknya.  Bayangkan jika seorang anak tak takut untuk tinggal kelas, ia akan terbiasa menyepelekan banyak hal. karena baginya tak ada yang serius di dunia ini. ia terbiasa hidup dalam kemudahan dan ujian adalah ke...

Pe•du•li/

kau tak peduli meski bilang kalau peduli. bagaimana mungkin itu benar peduli jika yang kamu tau hanya; bagaimana dia memenuhimu dan memastikan bagaimana ia tetap memenuhi. menjaganya tetap baik saja demi terpenuhinya dirimu. pernah kamu bertanya tentang apa sesungguhnya yang ia inginkan? benarkah tawa dan senyumnya selama ini tulus karena bahagia? egomu terlalu jahat untuk sebongkah asanya untuk membahagiakanmu. ia terlalu naif menganggap bahwa kau sungguh peduli. yang mereka tahu kau terpenuhi sedangkan yang kau tahu kau terpenuhi. tak ada yang peduli bagaimana tentangnya, sebab seluruhnya hanya tentangmu.

Yang Diharapkan dari Pengabdian; Ketulusan

A ku tak mengerti, apa itu esensi dari mengabdi. jika pada berdirimu di tengah jalan dengan semangat dan suara gelegarmu kau berteriak lantang "kita berdiri untuk mengabdi! mengabdi pada anak negeri! biar bangga kampus kita melihat masih ada anak muda macam kita yang mau turun ke hutan, mengabdi!" Kemudian disahut dengan teriakan-teriakan pongah dan arogan, "hidup pengabdian!" Sedang aku berdiri di tepian jalan berniat untuk turun, mengurusi yang bisa aku urus. Tapi langkahku ku tarik, sepatu bututku menjauh dari kerumunan. Suara itu kembali menggelegar, "kita buktikan pada yang lainnya, bahwa kita punya kebanggaan, bangga untuk menujukkan kita mengabdi!!!!" Aku berpaling, berjalan ke arah berlainan, tertunduk malu pada matahari yang terang. "berbangga kepada kampus karena kita mengabdi?" Kurasa tak ada yang dibanggakan dari pengabdian, tak ada yang bisa diteriakkan untuk mendapat rekognisi dari sebuah pengabdian. Sependek penalaranku, mengabdi s...